Anis Matta Tak Lagi Percaya Survei Politik

TEMPO.CO , Jakarta:Kemenangan kandidat gubernur Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Pemilihan Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara membuat Presiden PKS Anis Matta meragukan independensi dan obyektifitas lembaga survei. Pasalnya, sejumlah lembaga survei itu meramalkan elektabilitas PKS bakal merosot pada pemilu 2014.

"Hasil survei saat ini perlu dicermati dengan baik mengingat saat ini banyak lembaga survei menjadi konsultan partai politik yang tentunya akan mendongkrak popularitas dari partai yang menyewa mereka," kata Anis Matta di Manado, Senin 25 Maret 2013.

"Survei atau alat baca sangat rentan dan kadangkala tak sampai tujuannya. Alat baca kini justru jadi alat kampanye dari satu partai karena mereka jadi konsultan. Jadi tetap hanya hasil akhir yang menetukan," kata Anis lagi.

Anis Matta transit di Kota Manado setelah sebelumnya berada di Maluku Utara untuk menghadiri deklarasi pasangan calon gubernur Abdul Gani Kasuba dan Muhammad Nasir Tayib.

Menurut Anis, kemenangan PKS di dua pilkada besar yakni Jawa Barat dan Sumatera Utara menepis hasil survei lembaga-lembaga polling. "Di dua pilkada, kami ditempatkan di posisi yang kalah. Buktinya kami malah menang satu putaran," kata Anis Matta.

Namun demikian, Matta mengatakan jika survei tetap diperlukan sebagai bahan analisa untuk menambal kekurangan yang terjadi di dalam internal partai. "Survei itu sendiri bisa kita jadikan analisa untuk ke depan kita semakin kuat. Makanya di setiap pertemuan PKS saya selalu ingatkan untuk lebih mencermati hasil survei yang ada," katanya.

 

RUU Advokat Picu Debat Panjang di DPR

TEMPO.CO , Jakarta:Rapat dengar pendapat antara sejumlah organisasi advokat dengan Badan Legislasi DPR, Senin 25 Maret 2013 diwarnai debat panjang dari puluhan  advokat dari delapan organisasi advokat yang hadir. Mereka berdebat di antara mereka sendiri, meski tujuan rapat adalah mendapatkan masukan untuk parlemen.

Perdebatan langsung dimulai ketika rapat dibuka sekitar pukul 13.30 WIB. Kericuhan terjadi karena puluhan advokat saling berebut kursi yang hanya tersedia untuk 50 undangan. Kursi rapat menjadi kurang lantaran tiap organisasi membawa rombongan besar.

Tak lama setelah Wakil Ketua Baleg, Achmad Dimyati Kusumah membuka sidang, hujan interupsi langsung terjadi. Para advokat memprotes kurangnya kursi dan mundurnya waktu rapat yang seharusnya dijadwalkan pukul 13.00 WIB. Dimyati pun mencoba menenangkan para advokat dengan menjelaskan sejumlah kesibukan rapat di dewan.

Begitu diskusi soal draft revisi Rancangan Undang-Undang Advokat dimulai, para advokat justru lebih sering menyinggung-nyinggung urusan internal organisasi advokat.

Salah satu perdebatan yang cukup menyita waktu adalah soal dualisme kepengurusan Ikatan Advokasi Indonesia (Ikadin). Saat ini ada dua organisasi advokat dengan nama yang sama: Ikadin. Yang satu dipimpin Todung Mulya Lubis, sedangkan yang lain dipimpin Otto Hasibuan.

Selama lebih dari sepuluh menit, wakil dari kedua Ikadin adu mulut. Sambil berdiri dan menunjuk-nunjuk, kedua kelompok saling tuding.

"Ikadin yang resmi adalah Ikadin pimpinan Otto Hasibuan. Todung sudah dipecat," ujar Sekretaris Jenderal Ikadin pimpinan Otto, Adar Dam. Pernyataan ini langsung disambut protes dari kubu lawannya.

Saking riuhnya suasana, Dimyati yang memimpin rapat lebih banyak menenangkan dan mengatur jalannya sidang. "Ini bagian dari demokratisasi, silakan saja pro dan kontra," kata Dimyati.

Menurut Dimyati, meski rapat berlangsung panas, Baleg tetap merasa mendapat sejumlah masukan. Misalnya tentang perlunya standardisasi keanggotaan organisasi advokat dan pengaturan kelembagaan. "Tapi kita memang lebih banyak mendengar mereka saling curhat."

Rapat akhirnya ditutup pada pukul 15.30 WIB. Sekitar sepuluh petugas keamanan terus memantau situasi. Hingga ditutup, tak ada kesimpulan yang dapat diambil dari rapat riuh rendah itu.

 

Pemerintah Perlu Bentuk TPF Kasus Sleman

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pemerintah perlu membentuk tim pencari fakta untuk menyelidiki dan mengungkap pelaku kasus penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Saya pikir perlu dibentuk semacam TPF, tim pencari fakta, yang independen karena kasus ini diduga dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih. Itu karena selama ini, banyak kasus yang melibatkan TNI/Polri berakhir tidak jelas dan berlangsung tertutup," kata Lukman dalam Dialog Pilar Negara bertema "Menata Hubungan TNI/Polri" yang diadakan MPR di Gedung Nusantara IV MPR/DPR di Jakarta, Senin.

Dalam insiden di Lapas Cebongan itu empat tahanan tewas ditembak.

Dia menilai pembentukan TPF independen tersebut penting agar masyarakat luas mengetahui `akar` masalah yang sebenarnya dan para `aktor` yang melakukan penembakan secara semena-mena di LP Cebongan itu.

"TPF independen ini bisa diisi dengan para ahli pencari fakta dari kalangan yang punya independensi, seperti akademisi atau pers," ujarnya.

Menurut dia, pembentukan TPF independen itu perlu dilakukan karena selama TNI/Polri yang melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus yang melibatkan oknum TNI atau oknum Polisi, rakyat cenderung tidak mendapatkan informasi yang sesungguhnya.

Misalnya, kata dia, kasus yang masih baru adalah penyerangan TNI ke Mapolres OKU, Sumatera Selatan, ternyata rakyat tidak mengetahui perkembangan dari penanganan hukum kasus itu.

"Kalau kasus-kasus seperti ini terus `hilang` begitu saja, sangat mengerikan karena jelas tidak ada kepastian hukum. Padahal, itu antara TNI dan Polri, bagaimana kalau itu menimpa rakyat? Bukankah TNI/Polri dibiayai dengan anggaran negara?" katanya.

Oleh karena itu, kata Lukman, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu memanggil Panglima TNI dan Kapolri untuk benar-benar menuntaskan kasus itu melalui jalur hukum.

Pada kesempatan itu, kriminolog Adrianus Meliala menilai bahwa polisi kemungkinan besar sudah mengetahui pelaku penembakan di LP Cebongan, tetapi pihak kepolisian tidak berani bertindak sehingga menunggu `kerelaan` dari pihak TNI.

Dia juga membantah konflik antara TNI dan Polri belakangan ini akibat kecemburuan kesejahteraan.

"Secara struktur kepegawaian semisal remunerasi, justru TNI mendapat sebesar 60 persen dan Polri hanya 15 persen. Memang ada masalah di internal TNI maupun Polri sendiri, yang tidak mau melihat bahwa kedua lembaga ini memang berbeda," ujar Adrianus.(tp)