KPU Sukses menata dapil DPRD, Semoga!

MERDEKA.COM. Ibarat bekerja dalam senyap, KPU bersama KPU provinsi  dan KPU kabupaten/kota telah menyelesaikan pekerjaan besar: menetapkan daerah pemilihan (dapil) DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Ini  pencapaian luar biasa, karena ketidaklogisan dan ketidakkonsistenan dapil DPRD yang muncul sejak Pemilu 2004, kini berhasil ditata kembali sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu demokratis.

Berdasarkan Keputusan KPU No. 93/Kpts/KPU/2013 yang dikeluarkan 9 Maret 2013, KPU menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi sebanyak 2.008, bertambah 129 kursi jika dibandingkan Pemilu 2009. Jumlah kursi DPRD provinsi ini tersebar di 217 dapil, atau bertambah 42 dapil jika dibandingkan Pemilu 2009.

KPU juga menetapkan 16.345 kursi DPRD kabupaten/kota, atau bertambah 1.215 kursi jika dibandingkan dengan Pemilu 2009. Jumlah kursi tersebut tersebar di 1.864 dapil, atau bertambah 238 dapil jika dibandingkan dengan Pemilu 2009.

Sebagaiman diketahui, kekacauan dapil DPRD selama ini, antara lain terlihat dari banyaknya dapil berkursi lebih dari 12, padahal undang-undang membatasi jumlah kursi di setiap dapil antara 3 sampai 12.  Secara matematika, kondisi  tersebut menyebabkan ketidaksetaraan persaingan antardapil, sebab bersaing di kursi kecil (3-6) jauh lebih berat jika dibandingkan dengan bersaing di kursi besar (12 ke atas).  Jangan heran jika banyak partai gurem meraih kursi di dapil berkursi besar, sementara dapil berkursi kecil hanya dapat dikuasai partai gajah.

Soal lain, banyak dapil DPRD bentukan Pemilu 2004 dan dipertahankan pada Pemilu 2009, tidak memenuhi prinsip integralitas wilayah dan kohesivitas penduduk. Maksudnya, penggabungan kecamatan (dapil DPRD kabupaten/kota) dan kabupaten/kota (dapil DPRD provinsi) banyak yang mengabiakan kesatuan geografis dan kultural. Akibatnya pemilih dirugikan karena mereka mendapatkan kesulitan fisik dan psikis dalam berhubungan dengan wakil-wakilnya.

Oleh karena itu, penataan dapil DPRD yang mulai dilakukan KPU bersama jajarannya sejak awal Desember 2012 lalu sesungguhnya merupakan pekerjaan berat, rawan sekaligus berisiko. Sebab dapil merupakan arena perebutan kursi yang sebenarnya: di sini tersedia kursi, di sini pula terdapat suara pemilih. Syukurlah, proses penetapan dapil DPRD itu berjalan lancar,  nyaris tanpa protes dan gejolak.

Ini  kontras dengan tahapan penetapan partai politilk peserta pemilu, yang penuh hingar bingar dan caci maki protes.  Padahal ketidaktepatan pembentukan dapil tak hanya merusak hubungan pemilih dengan (calon) wakil-wakil rakyat, tetapi juga merugikan partai dan calon karena potensi kemenangannya bisa raib begitu saja.

Mengapa KPU bersama KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berhasil menata daerah pemilihan DPRD nyaris tanpa masalah?

Pertama, partai dan calon belum begitu paham atas konsekuensi-konsekuensi perubahan dapil, baik karena jumlah kursi maupun cakupan wilayah. Hal ini membuat mereka cenderung menurut saja apa yang direncakan oleh  KPU daerah. Padahal perubahan dapil bisa berdampak pada perolehan suara dan kursi.

Justru pemilih yang merasakan dampak atas kesalahan pembentukan dapil, sehingga selama ini mereka merasa hak-hak politiknya terabaikan. Sebagai contoh masyarakat Gayo yang tersebar di empat kabupaten di Provinsi Aceh, merasa sulit memiliki sendiri wakilnya (dari Gayo) di DPR dan DPRD provinsi, karena empat kabupaten tersebut dipisah menjadi dua dapil.

Kedua, kesuksesan penataan dapil DPRD ini juga disebabkan kepastian metode dan contoh-contoh pembentukan dapil, sebagaimana tercantum dalam Peraturan KPU No 5/2013. Hal ini tidak hanya memudahkan KPU daerah melakukan penataan kembali dapil, tetapi juga memahamkan masyarakat akan pembentukan dapil.

Ketiga, kesungguhan KPU daerah dalam mensosialisasikan peraturan dan rancangan penetapan dapil kepada partai politik dan kelompok-kelompok masyarakat di setiap daerah, juga menjadi faktor yang menentukan keberhasilan penataan dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota ini.

 

Surya Paloh kritik kebijakan pertanian Indonesia

MERDEKA.COM. Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) Surya Paloh mengkritik kebijakan negeri ini yang belum menghargai jasa para petani sebagai soko guru revolusi. Menurut dia kaum petani dibiarkan berkompetisi dengan produk asing yang semakin hari kian membanjiri pasar dalam negeri.

"Hari ini kita belum berjaya sebagai negeri maritim, kita terseok sebagai negara agraris. Karena petani belum dihargai di negerinya sendiri," tegas Surya di Banjarsari, Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (31/3).

Oleh karena itu, lanjut Surya semua harus memberikan penghargaan kepada kaum tani di Indonesia. Kalau yang bisa membuat kebijakan, buatlah kebijakan yang melindungi kaum tani. Begitu juga dengan kaum hartawan juga tak boleh melupakan jasa kaum tani.

"Kemampuan yang bisa membuat dan merubah Undang-Undang (UU) yang merupakan peran parpol di negeri ini segera buat atau rubah UU bagi kaum tani," ujarnya berapi-api.

Dia mencontohkan negara Amerika sebagai negara besar dan super power dan juga Jepang negara maju. Kedua negara ini sangat menghargai kehadiran petani di negaranya masing-masing. Mereka menganggap kaum tani bukan profesi lemah. Amerika menyatakan Jimmy Carter seorang petani kacang yang menjadi presiden USA.

"Mereka mensubsidi kebijakan. Pupuk, teknologi riset disubsidi. Saat ini di Indonesia semua impor. Daging, bawang, garam pun impor," kata dia.