Tahlilan, PKS Ingin Gaet Warga NU

TEMPO.CO, Semarang - Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Semarang Tedi Kholiluddin menilai langkah Presiden Partai Keadilan Sejahtera berziarah dan tahlilan di Makam Sunan Kalijaga bertujuan untuk meraih simpati warga nahdliyyin (Nahdlatul Ulama).

"Ziarah yang dilakukan Anis itu ada semangat deklaratifnya karena dilakukan secara terbuka," kata kader muda NU Jawa Tengah itu kepada Tempo, Kamis 4 April 2013.

Kandidat doktor Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga itu menambahkan, secara tidak langsung tindakan Anis Matta melakukan ziarah itu ada tarikan emosi ke nahdliyyin. Harapannya, PKS bisa meraih dukungan ke warga nahdlyyin.

Dalam safari dakwahnya di Jawa Tengah, Anis Matta bersama dengan jajaran pengurus PKS melakukan ziarah ke Makam Sunan Kalijaga dan tahlilan bersama takmir Masjid Agung Demak, pada Rabu sore 3 April 2013. Anis bersama puluhan pengurus PKS memakai baju putih dan songkok hitam melaafalkan kalimat-kalimat tahlil di hadapan makan Sunan Kalijaga. Kedatangan para pimpinan PKS itu teragenda sehingga disambut oleh para pengurus MUI Demak dan Takmir Masjid Agung Demak.

Tedi menyatakan amal tahlil dan ziarah merupakan amal pribadi yang bersifat teologis. Namun, tahlil yang dilakukan Anis Matta dilakukan secara bersama-sama dengan teragenda maka tak bisa dilepaskan dari sisi politis.

Selama ini, kata Tedi, ziarah dan tahlilan identik dengan amalan warga Nahdlatul Ulama. Sedangkan PKS, kata Tedi, pemahaman dan semangat keagamannya lebih bersifat purikatif. "Mereka sangat ketat terhadap bid`ah dan tahayul," kata Tedi. Bid`ah adalah amal yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Atas dasar itulah, Tedi juga memperkirakan tindakan tahlil dan ziarah Anis Matta bersama pengurus PKS itu bisa juga menggoyang kader militan PKS yang anti terhadap tahlil.

Anis menyatakan tahlilan dan ziarah ini bagian dari silaturahmi. "Intinya silaturahmi dengan kiai dan juga melakukan ziarah makam. Soal dukung mendukung itu belakangan, nantilah," kata bekass Wakil Ketua DPR tersebut.

 

Farhat Abbas Menghina Wagub Ahok

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pencemaran nama baik Wakil Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang dilakukan pengacara Farhat Abbas ternyata berlanjut. Pagi ini, rencananya Kepolisian Daerah Metro Jaya akan memeriksa Farhat terkait dugaan hinaan rasis yang dilakukannya kepada Basuki.

Wakil Gubernur yang lebih sering disapa Ahok ini sempat mendapatkan hinaan bernada rasis dari Farhat beberapa waktu lalu. Dia pun mencuit perkataan itu di akun Twitternya.

Anton Medan, mantan preman yang juga seorang Tionghoa, akhirnya melaporkan perbuatan Farhat ke Polda Metro Jaya. Dia akan diperiksa oleh penyidik Cyber Crime Polda Metro pada Kamis, 4 April 2013, pukul 10.00 WIB.

Dikabarkan pada pemeriksaan kali ini, status Farhat akan berubah menjadi tersangka. Menanggapi itu, Polda Metro Jaya belum mau berkomentar. "Itu nanti dulu. Saya tanya dulu ya," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Rikwanto, di kantornya, Rabu 3 April 2013 sore.

 

Ekskusif Wawancara Wiwin soal sprindik Anas

MERDEKA.COM. Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan sekretaris Ketua KPK Abraham Samad, Wiwin Suwandi, sebagai pelaku pembocor Surat Perintah Penyidikan atas tersangka Anas Urbaningrum. Tetapi, mereka tidak bisa menjatuhkan sanksi buat Wiwin, lantaran dia bukan pimpinan. Hanya Dewan Pertimbangan Pegawai yang berhak memberikan sanksi kepada Wiwin. Kemungkinan besar, kariernya di KPK tamat akibat perbuatannya itu.

Dalam wawncara dengan Aryo Putranto Saptohutomo dan Putri Artika Resyakasih dari merdeka.com beberapa waktu lalu, Wiwin mengakui dia yang berinisiatif menyebarluaskan sprindik Anas itu kepada wartawan. Bahkan, dia mengatakan Abraham Samad tidak mengetahui hal itu. Dia pun membantah ketika disebutkan penyebaran sprindik itu atas perintah Abraham.

Hal itu sekaligus meruntuhkan opini yang menuding Abraham Samad sebagai pelaku utama pembocor sprindik Anas selama ini. Tetapi, benarkah di balik pengusutan pembocor sprindik dan pembentukan Komite Etik ada agenda buat menjatuhkan Abraham Samad dari posisinya sebagai Ketua KPK? Lalu mengapa KPK ngotot membentuk Komite Etik? Padahal Wiwin sudah mengaku sejak awal dia adalah si pembocor itu. Berikut petikan wawancara khusus dengan Wiwin Suwandi.

Jadi bagaimana urutan peristiwa sampai sprindik AU bisa bocor?

Sejak awal saya mengakui yang membocorkan sprindik. Jadi begini, awalnya sudah ada gelar perkara kecil soal kasus gratifikasi proyek Hambalang, yang dihadiri oleh satuan tugas kasus gratifikasi hambalang dan direktur penindakan. Dari situ mereka sepakat menaikkan status kasus ini ke penyidikan.

Nah, tetapi tentu publik nantinya akan bertanya-tanya. Kok kasusnya Hambalang, tapi cuma kena soal gratifikasi. Ternyata itu strategi penyidik. Para penyidik pun mengakui tidak ada tekanan dalam mengusut kasus Hambalang. Penyidik pun mengakui mereka sudah terlambat, karena untuk kasus Hambalang ditargetkan selesai pada November tahun lalu. Tetapi mungkin karena alasan alat bukti atau tanda tangan, akhirnya penyidikan tertunda empat bulan.

Usai ekspose kecil itu, di antara lima pimpinan, ada satu yang belum sepakat soal penaikan penyidikan gratifikasi Hambalang, yaitu Pak Busyro (Muqoddas). Dia minta ada satu kali gelar perkara lagi. Yang lain sudah sepakat. Lalu turunlah draf sprindik itu. Begitu sampai ke tangan Pak Abraham melalui saya, dia langsung tanda tangan. Karena saat itu Busyro sedang berada di Medan, sementara Bambang Widjojanto sedang berada di luar negeri. Apalagi pekan depannya Pak Abraham ke Selandia Baru.

Saya berpikir agar jangan sampai gara-gara Pak Ketua belum tanda tangan semuanya jadi terhambat. Karena sudah biasa di KPK tanda tangan pimpinan lain dalam sprindik bisa menyusul.

Usai diparaf, malam itu satu rangkap salinannya saya berikan ke Pak Abraham. Dia kan mesti punya arsip, buat jaga-jaga kalau ditanya wartawan. Setelah itu, saya scan lagi draf sprindik itu dan saya cetak kembali. Salinan yang kedua itu yang saya berikan kepada dua wartawan keesokan harinya. Tetapi malam itu, saya juga menginformasikan soal sprindik ke Irman Putrasidin dan Alvon Kurnia Palma.

Namun malam itu, sudah ada kabar AU jadi tersangka. Tapi bukan dari saya. Ternyata penyidik pun juga mengabarkan kepada orang lain. Saat saya berikan salinan sprindik kepada dua wartawan itu alasannya sederhana saja. Agar kasus ini segera terungkap, lalu segera diadakan jumpa pers, soal tanda tangan pimpinan lain kan bisa menyusul.

Saya berpikirnya begini. Mungkin karena saya orang kampung yang tidak paham birokrasi, saya berikan sprindik itu atas inisiatif saya. Mereka tidak memanggil saya. Mereka cuma bertanya karena mendengar kabar AU sudah menjadi tersangka. Malam itu saya ketemu mereka di Gedung Setiabudi buat memberikan sprindik. Saya cuma pesan tolong segera dimuat biar publik tahu. Karena saya yakin pekan depannya akan ada jumpa pers soal perkara itu.

Ternyata, takdir berbalik. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak. Sejak kasus sprindik ini bocor, muncul skenario buat menjustifikasi Abraham Samad sebagai pelaku. Kemudian dari situ dibentuklah Komite Etik.

Padahal, Komite Etik dibentuk atas dasar Berita Acara Pemeriksaan dilakukan oleh Pengawas Internal. Di depan PI, saya sudah bersumpah atas nama Allah S.W.T., kalau saya membocorkan sprindik itu tidak atas perintah siapapun, termasuk Abraham Samad.

Jadi Anda mengaku tidak pernah disuruh siapapun menyebarkan sprindik?

Tidak. Saya berani bersumpah dengan Alquran. Waktu itu saya tantang Komite Etik dan Dewan Pertimbangan Pegawai buat bersumpah di atas Alquran, dan di hadapan Abraham Samad, memang benar saya membocorkan sprindik itu tidak atas perintah siapapun.

Lalu timbul pertanyaan, kenapa Komite Etik dibentuk, padahal sejak awal saya sudah mengaku sebagai pembocor sprindik. Padahal sprindik itu kan bukan rahasia negara. Kira-kira apa tujuan mereka.

Apakah ingin mengkudeta?

Saya tidak mau berburuk sangka terhadap orang lain, tapi kemungkinan itu ada. Kita berpikir logis di sini. Lalu saya menganggap ada agenda buat mendiskreditkan Abraham Samad. Abdullah Hehamahua atau Bambang Widjojanto misalnya. Jika Bambang peduli dengan temannya yang menjadi ketua, dia bisa panggil saya di tahap awal. Ketika dia menerima BAP itu, dia bisa memanggil saya.

Kalau dia bijaksana, dia kan bisa menegur saya, karena perbuatan saya memiliki risiko luar biasa. Dan bisa menjatuhkan Abraham Samad. Tetapi dia tidak melakukan itu. Dia terlalu percaya ini adalah kesalahan Abraham Samad. Di situ kesalahan fatal dan blunder besar mereka.